Bisnis Film Animasi 3D sudah mulai marak di Indonesia sejak tahun 2000. Home Land adalah film animasi 3 dimensi nasional pertama yang diluncurkan ke publik. Semenjak itu, bisnis animasi 3D di Indonesia mulai berkembang. Studio-studio animasi mulai muncul dan saling bersaing untuk menghasilkan karya 3D yang indah. Dibalik berdirinya studio animasi terdapat suatu masalah yaitu harga software. Harga perangkat lunak untuk menciptakan animasi 3D ternyata relatif mahal. Sebagai gambaran, software pengolah 3D seperti maya, dipatok dengan harga $474 di situs ebay . Lalu bagaimanakah startup company yang memiliki keterbatasan modal dalam mengatasi masalah ini? Apakah mahalnya software ini juga pernah dialami oleh studio animasi Penjelasan awal adalah Blender yang menjadi solusi dalam mahalnya harga software pengolah animasi 3D.Blender merupakan software open source untuk pengolah animasi 3D. Software ini memiliki keunggulan seperti software-software pengolah 3D lainnya. Pembuktian dari keunggulan Blender sering dipertanyakan oleh banyak pihak. Film animasi 3D berjudul "Big Buck Bunny" yang rilis tanggal 30 Mei 2008 menjadi jawaban atas keunggulan software open source ini.ilm ini menayangkan tentang kelinci besar melawan tiga tupai. Durasi film 3D ini berjalan hampir 10 menit. Keindahan dan texture 3D yang halus menunjukkan kinerja yang maksimal dengan software Blender. Film ini memberikan bukti bahwa software blender dapat digunakan untuk produksi. Selain itu, Blender juga dilengkapi dengan dokumentasi yang lengkap, gratis serta dapat mudah dicari di internet.Menuju pandangan bisnis. Pixar merupakan studio animasi terkenal yang dimiliki oleh Steve jobs. Banyak pengamat dan pebisnis studio animasi 3D yang berusaha menjadikan Pixar sebagai parameternya. Dibalik kesuksesan Pixar ternyata terdapat kisah yang menarik. Dalam artikel "How To Turn 10 Million Into 7 Billion: A Brief History Of Pixar" ditunjukkan bahwa LucasFilm mengalami masalah ekonomi dan terpaksa harus menjual aset-asetnya. Lucasfilm terpaksa menjual komputer dan software untuk menutupi biaya inking dan painting. Tentu yang menjadi pertanyaan adalah berapakah harga software yang dijual tersebut? Bisa jadi ratusan juta rupiah bahkan lebih!ni tentu bisa menjadi pelajaran yang berharga. Bahwa, studio 3D professional harus mengeluarkan banyak biaya untuk membeli software. Kata 'harus' hanya berlaku pada saat era 80-90an. Mengapa? karena pada tahun-tahun tersebut, software open source pengolah animasi 3D masih belum ada. Lalu bagaimana dengan sekarang? Studio profesional dihadapkan pada dua pilihan, yaitu :
Pertama, membeli software proprietary yang mahal. Software pengolah animasi 3D seperti maya atau 3D max memiliki harga yang cukup mahal. Hal lainnya adalah software 3D tersebut hanya berjalan pada sistem proprietary seperti Windows. Sehingga bila dijumlahkan maka kebutuhannya adalah membeli software dan sistem operasinya.
Kedua, menggunakan software Blender. Software ini dapat berjalan pada Windows maupun Linux. Penawaran ini jarang didapatkan dibandingkan software proprietary. Selain lintas platform, bila Blender dijalankan pada OS Linux tentu akan semakin menghemat biaya.
Apakah ini hanya sebatas teori belaka? Apakah ada studio skala internasional yang menggunakan Blender? EDM Studio adalah contoh studio animasi 3D yang menggunakan software Blender dalam produksinya. Dalam artikel EDM Studio - Professionals Using Blender. Berikut potongan artikelnya :
we use Blender extensively. The reasons are three-fold. First and foremost, Blender is a really good piece of software (an assessment based on our varied experience with a raft of other professional packages such as Houdini and 3D Studio Max). Next, Blender is open- source; this gives us access to the code internals (and the resultant ability to make changes and apply patches as needed) plus access to a vibrant and supportive online community. Finally, Blender has adopted Python as its internal scripting language, and python is our small studio's "secret" weapon - both for rapid prototyping, production systems, and as a general-purpose software glue.
Blender played a major role in our recent Eidophusikon project, a cultural history installation that combines a miniature physical recreation of an 18th century animated diorama along with a "behind the scenes" virtual view. This latter 3D view was done completely in Blender using two virtual cameras to render perspective-correct left and right eye movies. Playback was via 2 stacked DLP projectors onto a rear projection screen using Infitec passive 3D technology (projector filters + viewer glasses). As our deadline loomed, final rendering of the combined 7600 left and right eye movies was done on a 150 node Linux cluster. Thankfully, Blender comes with 'infinite' render licenses (laugh).
Sekarang sudah semakin jelas tentang masalah dan pembuktian tentang software Blender didalam bisnis. Dengan open source, studio dapat menghasilkan produk dengan harga mahal namun biaya pembuatan yang minimal. Selain itu, produk yang dihasilkan dengan open source akan menjadi branding yang bagus. Legal dan berkualitas tentunya output yang diharapkan dari penggunaan software open source. Pada akhirnya ketika seorang bertanya dimanakah mendapatkan produk animasi 3D yang dibuat dengan software legal? Studio Animasi dengan Open Source adalah jawaban pertama!
we use Blender extensively. The reasons are three-fold. First and foremost, Blender is a really good piece of software (an assessment based on our varied experience with a raft of other professional packages such as Houdini and 3D Studio Max). Next, Blender is open- source; this gives us access to the code internals (and the resultant ability to make changes and apply patches as needed) plus access to a vibrant and supportive online community. Finally, Blender has adopted Python as its internal scripting language, and python is our small studio's "secret" weapon - both for rapid prototyping, production systems, and as a general-purpose software glue.
Blender played a major role in our recent Eidophusikon project, a cultural history installation that combines a miniature physical recreation of an 18th century animated diorama along with a "behind the scenes" virtual view. This latter 3D view was done completely in Blender using two virtual cameras to render perspective-correct left and right eye movies. Playback was via 2 stacked DLP projectors onto a rear projection screen using Infitec passive 3D technology (projector filters + viewer glasses). As our deadline loomed, final rendering of the combined 7600 left and right eye movies was done on a 150 node Linux cluster. Thankfully, Blender comes with 'infinite' render licenses (laugh).
Sekarang sudah semakin jelas tentang masalah dan pembuktian tentang software Blender didalam bisnis. Dengan open source, studio dapat menghasilkan produk dengan harga mahal namun biaya pembuatan yang minimal. Selain itu, produk yang dihasilkan dengan open source akan menjadi branding yang bagus. Legal dan berkualitas tentunya output yang diharapkan dari penggunaan software open source. Pada akhirnya ketika seorang bertanya dimanakah mendapatkan produk animasi 3D yang dibuat dengan software legal? Studio Animasi dengan Open Source adalah jawaban pertama!