Jumat, 02 April 2010

tugas kewarganegaraan

Iklim, kacau
Iklim sekarang sudah tidak menentu, pemanasan global telah menghampiri kita. Menurut Laporan Badan Meteorologi Dunia (WMO) disebutkan bahwa suhu bumi pada 2006 meningkat 0,420C di atas rata-rata 1961-1990. Suhu di tahun itu merupakan suhu terpanas ke-6 dalam sejarah kehidupan di bumi.
Di tahun ini IPPC (Intergovernmental Panel on Climate Change) mengeluarkan laporan dari tiga kelompok kerja. Laporan tersebut secara tegas menyebutkan “tidak ada keraguan akan masalah perubahan iklim; memastikan bukti-bukti dari perubahan iklim dengan yakin; skala dan percepatan dari dampaknya terhadap kehidupan manusia dan ekosistem akan sangat tinggi; menghindari perubahan iklim ekstrim dapat dilakukan dengan bantuan teknologi dan ekonomi namun waktu untuk bertindak tidak banyak”

Penyumbang emisi karbon

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, besar atau kecil pastinya tetap menyumbang emisi karbon bagi bumi ini. Beberapa bulan lalu Organisasi Pangan dan Pertanian melansir sebuah hasil riset yang menempatkan Indonesia sebagai perusak hutan tercepat di dunia. Laju kerusakan hutan kita, menurut data itu, adalah 2 persen atau 1,87 juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 kilometer persegi hutan kita rusak setiap hari atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jam!

Nah, dengan rusaknya hutan tropis Indonesia, baik akibat pembalakan liar maupun kebakaran hutan pastinya akan menambah jumlah karbondioksida (CO2) di udara. Bertambahnya konsentrasi CO2 ini jelas akan meningkatkan rata-rata suhu bumi. Masih menurut perhitungan para ahli, secara kasar, rata-rata suhu udara di dekat permukaan bumi meningkat sebesar 0,74 derajat Celcius selama satu abad terakhir.

Tidak hanya Indonesia dan negara berkembang lainnya yang menyumbang emisi karbon, Negara maju pun demikian. Emisi GRK terbesar justru dihasilkan oleh negara-negara kaya seperti Amerika Serikat (AS). Satu orang AS menghasilkan efek emisi sebanding dengan 17 orang Maladewa, 19 orang India, 30 orang Pakistan, 49 orang Sri Langka, 107 orang Bangladesh, 134 orang Bhutan dan 269 orang Nepal. (Firdaus Cahyadi, 2007)

Emil Salim memaparkan, antara tahun 1994 dan 2004 jumlah emisi karbon dioksida di negara maju, kecuali Jerman, Polandia, Rusia, naik 88 persen. Bisa kita ketahui semua negara, maju maupun berkembang sama-sama menjadi penyumbang emisi karbon, cuma berbeda dari sisi besar dan kecilnya saja.

Dampak Pemanasan global

Dengan menggunakan model dari IPCC, Indonesia akan mengalami kenaikan dari temperatur rata-rata dari 0,10 – 0,30C per dekade. Kenaikan suhu ini akan berdampak pada iklim yang memengaruhi manusia dan lingkungan sekitarnya, seperti kenaikan permukaan air laut dan kenaikan intensitas dan frekuensi dari hujan, badai tropis, serta kekeringan.

Para petani di Indonesia maupun di belahan bumi lainnya kini ramai mengeluhkan siklus musim yang mulai berubah. Hujan yang diharap-harap turun, malah berganti dengan kemarau berkepanjangan, demikian sebaliknya. Meningkatnya suhu bumi dipercaya berkontribusi besar pada kenaikan permukaan air laut. Mengapa? Pertama, naiknya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan mencairnya daratan es di Kutub Utara dan Selatan. Majalah Time (edisi 1 Oktober 2007) memperlihatkan, lapisan es di Kutub Utara menyusut lebih dari 20 persen dalam 25 tahun terakhir. Pencairan es ini akan terus berlangsung hingga tinggal sekitar 20 persen pada 2040. Saat itu Indonesia diestimasikan kehilangan lebih dari 2.000 pulaunya yang tenggelam. Kedua, suhu lautan yang meningkat akan memicu pemuaian massa air laut.

Menurut perhitungan, sejak 3.000 tahun lalu hingga awal abad ke-19, peningkatan permukaan air laut berjalan konstan sebesar 0,1-0,2 mm per tahun. Namun, sejak 1900, permukaan laut meningkat 1-2 mm per tahun. Perhitungan lebih akurat dihadirkan oleh satelit Poseidon milik AS pada 1993. Saat itu diketahui permukaan laut meningkat sebesar kurang lebih 3,1 mm per tahun.

Angka ini tak boleh dianggap enteng. Dengan laju peningkatan saat ini, maka permukaan air laut pada 2100 akan meningkat sebesar 280-340 mm dari level 1990. Ini artinya peta dunia harus digambar ulang. Sebagian Kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku akan tenggelam. Di AS, semenanjung Florida dan Manhattan, yang amat terkenal dengan tumpukan pencakar langitnya, tenggelam. Sementara negara-negara kepulauan kecil seperti Maladewa, termasuk negara-negara kecil lainnya di Pasifik, tinggal sejarah.

Usaha penanggulangannya

Kondisi di atas mulai direspon oleh para pemimpin dunia terutama di kawasan Asia Timur dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur di Singapura menjadikan isue pemanasan global sebagai pembahasan utama. Para pemimpin Asia Timur yang terdiri dari 10 negara ASEAN ditambah China, Jepang, Korea Selatan, Australia, India, dan Selandia Baru itu menandatangani “Deklarasi Singapura untuk Perubahan Iklim”. Deklarasi itu intinya menyerukan kepada 16 negara untuk berperan aktif mewujudkan cetak biru lingkungan yang baru, menggantikan Protokol Kyoto yang akan habis masa berlakunya tahun 2012.

Protokol Kyoto menetapkan target batasan emisi bagi negara-negara maju. Namun, negara adidaya seperti AS serta Australia menolak meratifikasinya dengan alasan, India dan China yang tercatat sebagai kontributor polusi terbesar di dunia tidak dikenai target itu hanya karena keduanya digolongkan sebagai “negara berkembang”. (Kompas, Kamis 22 November 2007).

Memang, saat ini dunia terbagi menjadi negara maju dan berkembang, namun dari sisi upaya untuk mengatasi pemanasan global ini harus melibatkan semua negara. Sungguh akan sia-sia ketika hanya sebagian negara yang mau untuk mengurangi emisi karbon, namun sebagian negara lain terus menerus menambah emisi tersebut, pasti hasilnya tetap nol besar.

Sungguh sangat disayangkan, mengapa kesadaran untuk mengurangi emisi karbon di negara maju masih rendah bahkan ada yang enggan meratifikasi protokol Kyoto ? Menjadi tanda tanya besar, apa sebenarnya yang mereka inginkan ? Belum cukupkah berbagai bencana alam yang terjadi saat ini menyadarkan mereka ?

Kalau kita perhatikan Indonesia melalui presiden SBY, mulai membangun kesadaran di tengah masyarakat pentingnya menanam pohon sebagai salah satu upaya mengurangi emisi karbon. Namun pertanyaannya, cukupkah hanya sekedar menanam pohon ????

Sistemnya yang seharus dirubah

Apa yang terjadi saat ini tentunya tidak terlepas dari sistem atau ideologi yang diemban oleh masing-masing negara,baik negara maju dan berkembang. Kita tahu bahwa saat ini ideologi yang berkuasa adalah ideologi Kapitalis/Sekuler, menurut pandangan kapitalis menganggap bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas, karenanya untuk memenuhi kebutuhan manusia yang sangat banyak saat ini memerlukan Sumber Daya Alam (SDA) yang banyak pula. Industrialisasi adalah jawabannya, apalagi negara berkembang dengan jumlah penduduknya yang besar menjadi pasar yang sangat menguntungkan untuk memasarkan hasil industri negara-negara maju.

Kita juga paham watak ekonomi kapitalis sesuai dengan prinsip ekonomi yang sangat mashur “dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya”, menjadikannya melupakan atau tidak memperhatikan dampak lingkungan (sisi ekologis) yang akan timbul akibat terus dikeruknya SDA.

Negara-negara maju (mereka dengan ideologi kapitalisnya) tidak hanya mengeruk SDA yang ada di negeri mereka, namun mereka dengan mudahnya mengeruk kekayaan SDA di negara berkembang. Dengan modal mereka yang besar ditambah rendahnya kepekaan pemimpin di negara berkembang bahwa SDA yang ada harusnya untuk rakyat, menjadikan terus-menerusnya alam “diperkosa” dan yang tertinggal hanya kerusakan dan berujung pada bencana. Di Irian : Freeport dikuasai oleh AS, Di Cepu : tambang minyak yang besar tersebut dikuasai oleh Exxon Mobil yang notabene juga AS, bahkan yang terdekat adalah tambang intan Galuh Cempaka yang juga dikuasai oleh asing.

Telah jelas kapitalisme, hanya berujung pada kehancuran. Sudah tiba saatnya kita kembali kepada Ideologi Islam yang pasti akan membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Islam yang tidak hanya mengatur masalah hubungan manusia dengan Tuhannya, tapi juga hubungan manusia dengan lingkungannya, sehingga tidak hanya sisi ekonomis yang dipikirkan, namun sisi ekologis juga menjadi hal yang penting untuk di jaga.

Dalam Islam SDA di ambil hanya sebatas keperluan manusia, tidak diambil dengan serakah. Yang mengelolanya pun negara bukan individual sehingga bukan keuntungan yang dikejar. Nah, apalagi yang harus kita tunggu, Sekarang lah saatnya Khilafah Islam yang merupakah bentuk pemerintahan Islam memimpin Dunia.



Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget